1. SENI
MUSIK
Salah
satu kesenian sebagai bagian dari kebudayaan daerah Gorontalo yang cukup
terkenal yaitu musik tradisional Polopalo. Menurut masyarakat Gorontalo, musik
tradisional Polopalo merupakan musik asli rakyat Gorontalo, namun pada
perkembangannya, ternyata ditemui ada alat musik daerah lain yang hampir serupa
dengan musik ini yakni alat musik Sasaheng dari Sangihe Talaud dan Bonsing dari
Bolaang Mongondow.
Lagu
Daerah Gorontalo adalah Binde Biluhuta dan Dabu-Dabu. Alat musik tradisional
yang dikenal di daerah Gorontalo adalah Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal
dari Arab).
lagu-lagu
daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah Hulandalo
Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah Tiba),
Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde
Biluhuta (Sup Jagung).
Penyanyi-penyanyi
asal daerah Gorontalo yang terkenal, antara lain, Rama Aipama, Silvia Lamusu,
Lucky Datau, Hasbullah Ishak, Shanty T., dan Gustam Jusuf. Rama Aipama lahir di
Gorontalo pada tanggal 17 September 1956, yang kemudian mencapai sukses besar
dalam dunia tarik suara di Jakarta.
Salah
satu kesenian sebagai bagian dari kebudayaan daerah Gorontalo yang cukup
terkenal yaitu musik tradisional Polopalo. Menurut masyarakat Gorontalo, musik
tradisional Polopalo merupakan musik asli rakyat Gorontalo, namun pada
perkembangannya, ternyata ditemui ada alat musik daerah lain yang hampir serupa
dengan musik ini yakni alat musik Sasaheng dari Sangihe Talaud dan Bonsing dari
Bolaang Mongondow.
Alat
musik tradisional Polopalo merupakan alat musik jenis idiofon atau golongan
alat musik yang sumber bunyinya diproleh dari badannya sendiri (M. Soeharto
1992 : 54), Dalam artian bahwa ketika Polopalo tersebut di pukul atau
sebaliknya memperoleh pukulan, bunyinya akan dihasilkan dari proses bergetarnya
seluruh tubuh Polopalo tersebut.
Alat
musik Polopalo adalah alat musik yang bahan dasarnya terbuat dari bambu,
bentuknya menyerupai garputala raksasa dan teknik memainkannya yakni dengan
memukulkan ke bagian anggota tubuh yaitu lutut. Pada perkembangannya, Polopalo
mendapatkan penyempurnaan pada beberapa hal, salah satunya adalah kini Polopalo
dibuatkan sebuah pemukul dari kayu yang dilapisi karet agar mempermudah dan
membantu dalam proses memainkan alat musik Polopalo. Hal ini memberi dampak
selain tidak membuat sakit bagian anggota tubuh yang dipukul, juga membuat
Polopalo tersebut berbunyi lebih nyaring.
Pada
era tahun 60-an sampai sekitaran tahun 90-an, Polopalo biasanya dimainkan pada
waktu – waktu tertentu, yang pada hari tersebut merupakan hari yang spesial
menurut masyarakat Gorontalo. Contohnya, pada waktu masyarakat daerah Gorontalo
telah selesai melaksanakan panen raya atau pada waktu bulan t’rang (bulan
purnama). Tradisi memainkan musik Polopalo dilaksanakan tanpa menunggu perintah
atau komando, dalam hal ini masyarakat tergerak dengan sendirinya karena merasa
harus bergembira bersama dalam mensyukuri hari yang indah atau hari yang
spesial tersebut. Biasanya musik tradisonal Polopalo itu dimainkan kira – kira
pukul 22.00 sampai pukul 01.00 waktu setempat.
Musik
Polopalo saat ini agaknya kurang diminati masyarakat. Kemungkinan penyebabnya
antara lain, alat musik ini hanya dimainkan sendiri dengan variasi nada
terbatas. Untuk lebih diminati, kemungkinan pengembangannya pada bentuk
komposisi musik, yang diharapkan dapat menggugah generasi muda sebagai penerus
kebudayaan, yang sehari-harinya mereka banyak mengkonsumsi berbagai aliran
musik baru yang beraneka ragam. Oleh sebab itu pengambangan musik Polopalo
diharapkan akan menghasilkan harmonisasi dan improvisasi variatif mengikuti
perkembangan musik pada umumnya.
Bapak
Arthur Galuanta, salah satu tokoh musik di Gorontalo mengasumsikan bahwa,
sebenarnya alat musik Polopalo dapat di kembangkan dari 2 (nada) menjadi lebih,
dalam artian musik Polopalo dapat dikembangkan jenis organologinya sehingga
akan menghasilkan beberapa buah alat musik Polopalo dalam bentuk dan nada yang
berbeda. Setelah itu Polopalo yang telah menjadi beberapa buah nada tersebut,
akan dimainkan oleh beberapa orang dengan menyesuaikan komposisi yang telah
dibuat. Secara otomatis musik Polopalo dengan variasi nada kemungkinan sudah
bisa memainkan sebuah lagu. Variasi nada menjadi bahan pertimbangan ketika
membuat komposisi, disesuaikan dengan sentuhan pengembangan yang telah kita
nalarkan pada musik Polopalo tersebut.
Dapat
ditemui dua macam Polopalo yaitu Polopalo jaman dulu / tradisional dan Polopalo
jaman sekarang. Polopalo jaman dulu hanya dimainkan sendiri atau solo sedangkan
alat musik Polopalo sekarang ini dimainkan berkelompok dengan menggunakan
komposisi dan aransemen.
Teknik
memainkannya pun berbeda, Polopalo jaman dulu dimainkan dengan memukulkan alat
musik Polopalo tersebut ke pemukul dan kebagian anggota tubuh yaitu lutut
secara beraturan, sedangkan alat musik Polopalo jaman sekarang ini dimainkan
dengan memukulkan alat musik tersebut hanya ke pemukulnya saja. Namun teknik
memainkan Polopalo sekarang ini jauh lebih menuntut kemampuan ritme dan
musikalitas guna menyesuaikan dengan komposisi dan aransemen yang di berikan
pada alat musik tersebut.
Polopalo
jaman dulu dan Polopalo jaman sekarang ini memiliki bahan dasar yaitu bambu.
Perbedaan yang paling mencolok dari kedua jenis Polopalo ini yaitu terletak
pada lubang pada bagian pangkalnya. Polopalo jaman sekarang ini tidak memiliki
lubang sama sekali sedangkan pada Polopalo jaman dulu terdapat lubang untuk
membedakan warna bunyi. Namun pada Polopalo waktu dulu tidak terdapatnya proses
penyeteman atau penalaan, sedang pada Polopalo sekarang ini terdapat proses
penyeteman yang dilakukan dengan meraut secara bertahap lidah Polopalo.
Perkembangan
ini sesuai realita di daerah Gorontalo, dimana para pengrajin musik Polopalo
melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang didalam pola
pikirnya telah dipengaruhi oleh berbagai perkembangan global dengan tuntutan
kemajuan secara instan dari berbagai faktor. Misalnya, faktor ekonomi, sosial,
dan teknik seni musik didalamnya.
Alat
musik tradisional Polopalo merupakan alat musik jenis idiofon atau golongan
alat musik yang sumber bunyinya diproleh dari badannya sendiri (M. Soeharto
1992 : 54), Dalam artian bahwa ketika Polopalo tersebut di pukul atau
sebaliknya memperoleh pukulan, bunyinya akan dihasilkan dari proses bergetarnya
seluruh tubuh Polopalo tersebut.
2. SENI
TARI
Salah
satu warisan nenek moyang kita yang perlu dilestarikan yakni Seni Tari. Olah
gerak nan elok ini menampilkan serta menceritakan tentang kehidupan masyarakat
melalui gerakan tari. Tarian yang cukup terkenal di daerah Gorontalo ini antara
lain, Tari Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga.
a. Tari
Saronde
Tari
Saronde adalah tari pergaulan keakraban dalam acara resmi. Tarian ini diangkat
dari tari adat malam pertunangan pada upacara adat perkawinan daerah Gorontalo.
Saronde sendiri terdiri dari musik dan tari dalam bentuk penyajiannya. Musik
mengiringi tarian Saronde dengan tabuhan rebana dan nyanyian vokal, diawali
dengan tempo lambat yang semakin lama semakin cepat.
Dalam
penyajiannya, pengantin diharuskan menari, demikian juga dengan orang yang
diminta untuk menari ketika dikalungkan selendang oleh pengantin dan para
penari. Iringan rebana yang sederhana merupakan bentuk musik yang sangat akrab
bagi masyarakat Gorontalo yang kental dengan nuansa religius.
b. Tari
Dana-Dana
Selain
Tari Saronde, Tari Dana-danamerupakan salah satu dari seni budaya asli
Gorontalo. Tari ini menampilkan gerakan yang harus diikuti oleh seluruh anggota
badan dan menggambarkan pergaulan keakraban remaja. Salah satu tarian khas
gorontalo yang biasanya ditarikan pada saat hajatan berupa acara perkawinan
atau pesta rakyat dan pagelaran seni budaya. Keunikannya tari ini didominasi
oleh gerakan-gerakan yang dinamis mengikuti irama musik gambus dan rebana serta
lagu berisi pantun bertemakan percintaan, atau nasehat – nasehat yang
berhubungan dengan pergaulan remaja.
Tarian
Dana-dana merupakan Tarian pergaulan remaja gorontalo yang berkembang dari masa
kemasa, tarian ini melambangkan cinta kasih dan kekeluargaan. Tari dana-dana
sendiri terbagi dua, yaitu untuk tari penyambutan dan tari perayaan. Tari
penyambutan biasanya ditampilkan ketika menyambut tamu, atau kunjungan dari
daerah lain, sedangkan tari perayaan adalah untuk merayakan sesuatu, misalnya
pesta pernikahan, acara penobatan seorang pemimpin, dan lain-lain.
Tari
Dana-Dana diangkat dari Bahasa Daerah Gorontalo, yakni dari dua kata :
Daya-Dayango dan Na’o-Na’o. Daya-Dayango artinya menggerakkan seluruh
anggota tubuh. Anggota tubuh yang dimaksud yakni tangan, kaki, dada, perut dan
pinggul menurut ritme tertentu. Sedang Na’o-Na’o artinya sambil berjalan.
Jadi, jika digabungkan dan diartikan menjadi menggerakkan seluruh anggota tubuh
sambil berjalan.Tarian dana-dana hadir di Gorontalo sejak tahun 1525 M atau
saat Agama Islam masuk di daerah ini. Tarian ini pertama kali ditampilkan pada
acara pernikahan Raja Sultan Amay dengan Putri Owotango. Saat itu, seusai
prosesi pernikahan masuklah pada acara pertunjukkan tarian rakyat yang
diantaranya adalah Tari Dana-Dana.
Ketatnya
ajaran Islam dan norma adat-istiadat masyarakat Gorontalo pada waktu itu,
mengalami kendala untuk menampilkan tarian ini secara berpasang-pasangan.
Alasannya cukup masuk akal, tidak mengizinkan pria dengan mudah menyentuh
wanita yang bukan muhrimnya. Sehingga tarian dana-dana yang diangkat dari salah
satu tarian pergaulan muda-mudi waktu itu ditampilkan hanya dilakoni oleh
laki-laki saja dengan jumlah 2 sampai 4 orang.
Tarian
Dana-dana ini terus mengalami metamorfosis, di modifikasi dan di sesuaikan
dengan keadaan zaman. Hal ini dilakukan agar tarian dana-dana yang dimainkan
sepasang muda – mudi itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Berdasarkan hal ini, maka di daerah gorontalo terdapat tiga jenis tarian
dana-dana, Tari Dana-Dana Asli yang merupakan tarian dana-dana peninggalan
leluhur yang gerakannya belum terkontaminasi oleh zaman, Tari Dana-Dana Modern
dan Tari dana-Dana Kreasi, kedua tarian ini merupakan penjabaran dari tarian
dana-dana asli.
Walaupun
telah di modifikasi sedemikian rupa, tarian dana-dana modern dan kreasi ini
tidak bertentangan dengan syariat Islam, dimana khususnya untuk pakaian penari
wanita yang tetap di haruskan menggunakan busana tertutup serta jilbab sebagai
ciri khas seorang muslimah.
Tarian
dana-dana yang mengalami modifikasi dari tarian asli nampak jelas pada jumlah
personil penari yang terdiri atas pasangan laki-laki dan perempuan serta
pakaian yang kini ditata dengan busana takowa kiki, memakai songkok dan
berlilitkan sarung di pinggang. Meskipun telah di modifikasi, akan tetapi hal
itu tidak mengurangi nilai dari tarian dana-dana yang aslinya.
.
3. SENI
RUPA
ü Rumah
Adat
Seperti
halnya daerah lain di Indonesia, orang Gorontalo memiliki rumah adatnya
sendiri, yang disebut Bandayo Poboide. Rumah adat ini terletak di tepat di
depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman, Limboto. Selain itu,
masyarakat Gorontalo juga memiliki rumah adat yang lain, yang disebut Dulohupa,
yang terletak di di Kelurahan Limba U2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.
Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat kerajaan pada
masa lampau.
Dulohupa merupakan rumah panggung
yang terbuat dari papan, dengan bentuk atap khas daerah Gorontalo. Pada bagian
belakang ada ajungan tempat para raja dan kerabat istana untuk beristirahat
atau bersantai sambil melihat kegiatan remaja istana bermain sepak raga.
Rumah
adat dengan seluas tanah kurang lebih lima ratus ini dilengkapi dengan taman
bunga , serta bangunan tempat penjualan sovenir, dan ada sebuah bangunan garasi
bendi kerajaan yang bernama Talanggeda.
Pada masa pemerintahan para raja,
rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan, untuk memvonis para
pengkhianat negara melalui sidang tiga alur pejabat pemerintahan, yaitu
Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo Syara (Alur Hukum Agama
Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).
Selain itu juga dikenal Bele li
Mbui (berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat).
ü Pakaian
Adat Gorontalo
Gorontalo
memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan,
baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan,
pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian adat ini
umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan
hijau.
ü Kerajinan
Tangan Kain Kerawang
Kalau pulau jawa punya batik,
Palembang miliki songket, Gorontalo pun tak mau kalah. Provinsi Gorontalo punya
sulaman kain kerawang. Sulaman kerawang, salah satu komoditas unggulan provinsi
Gorontalo, yang menjadi nilai identitas daerah Gorontalo. Apa ada kaitanyya
dengan Kerawang Jawa Barat? Ternyata, kerawang yang dimaksud itu berasal dari
karawo yang artinya sulaman dengan tangan. Kerajinan tangan ini sudah
berkembang sejak lama di Gorontalo, sejak abad 17 dari masa kerajaan dan
kolonial Belanda dan hingga sekarang sudah menjadi sentra kerajinan khas
Gorontalo. Bahkan sulaman kain kerawang kerap dijadikan baju seragam oleh
beberapa perusahaan, instansi pemerintah dan para jemaah haji asal Gorontalo.
Sulaman kerawang merupakan salah
satu kerajinan tangan tradisional Gorontalo. Salah satu ragam hias kain yang
dihiasi dengan berbagai macam motif warna sesuai denga selera masing-masing
pengrajin. Dengan motif yang bervariasi menjadikan kerawang sebagai salah satu
kerajinan tangan andalan daerah Gorontalo. Kerajian kerawang atau yang dikenal
dengan bahasa daerah Gorontalo mokarawo merupakan salah satu ciri khas karya
asli bumi Gorontalo dan salah satu komoditas unggulan yang menjadi nilai
identitas daerah dan juga budaya turun-temurun.
Pada awalnya, sulaman kerawang
hanyalah digunakan untuk keperluap sendiri saja ataupun kalau menerima pesanan
dari sanak saudara dan sesama tetangga. Namun karena keindahan serta
keunikannya, sulaman kerawang pun semakin banyak penggemarnya.
Proses membuat sulaman kain
kerawang cukup rumit. Terlebih dahulu membuat desain sulaman dikertas milimeter
blok. Kemudian kain dipotong sesuai ukuran. Lapisan kain dibuka
benang-benangnya untuk ruang sulaman. Ukurannya sesuai jenis kain yang dipakai
dan besar motifnya. Setelah itu kain langsung disulam.
ü Walima
Walima dalam bahasa Arab yang
artinya perayaan oleh masyarakat Gorontalo umumnya dikenal sebagai wadah yang
berisi berbagai jenis kue basah atau kering yang diarak ke masjid pada setiap
Maulid Nabi, bahkan di beberapa tempat di Gorontalo walima juga diisi dengan
bahan makanan pokok hasil kebun, ternak dll yang disiapkan apa adanya.
Bagi masyarakat, Walima adalah
hasil karya seni tinggi yang dipersiapkan berbulan-bulan, memerlukan kesabaran
yang tinggi untuk mengerjakannya serta membutuhkan biaya yang lumayan besar.
Bagian-bagian
dalam Walima:
a. Tolangga
Tolangga terbuat dari kayu
yang paten dapat dipergunakan bertahun-tahun, disimpan oleh masyarakat untuk
dipakai pada saat perayaan Maulid Nabi.
b. Kertas
Warna
Bahan kertas warna digunakan untuk
menghiasi bambu atau rotan pada Tolangga.
c. Bendera
Bendera besar sesuai
keinginan pemilik walima dengan guntingan berbagai bentuk, dipasang dari ujung
walima sampai ke bawah. Bendera kecil warna-warni jumlah tidak tetap tergantung
keinginan pemilik walima, diletakkan di setiap sisi pada tengah walima. Bahan
bendera terbuat dari kertas atau kain.
d. Kolombengi
Terbuat dari tepung,
gula & telur, kue ini dapat disimpan berbulan-bulan dan tidak mudah rusak,
inilah kue khas Walima.
e. Tusuk
Kue
Terbuat dari bambu untuk tusukan
kue kolombengi panjang sesuai ukuran tolangga.
f. Plastik
Plastik bening biasa untuk
melindungi kue kolombengi setelah ditusuk.
g. Lilingo
Terbuat dari daun
kelapa muda dibuat bulat seperti tempat nasi, fungsinya adalah wadah tempat
nasi kuning, pisang, ayam bakar/goreng, ikan laut – asap, kue basah, dll.
h. Makanan
Nasi kuning, ikan bakar, ayam bakar
& pisang.
Ø Meriam
Bambu (dalam bahasa Gorontalo Bunggo)
Bunggo
terbuat dari bambu pilihan yang setiap ruas dalamnya, kecuali ruas paling
ujung, dilubangi. Di dekat ruas paling ujung diberi lubang kecil yang diisi
minyak tanah. Lubang kecil itu sebagai tempat menyulut api hingga bisa
mengeluarkan bunyi letusan.
4. SENI
TEATER(DRAMA)
Untuk seni teater (drama) daerah
Gorontalo tidak diketahui.
5. ADAT
Tumbilotohe
Tumbilotohe
· Tumbilotohe
yang dalam arti bahasa gorontalo terdiri dari kata “tumbilo” berarti pasang dan
kata “tohe” berarti lampu, yaitu acara menyalakan lampu atau malam pasang
lampu. Tradisi ini merupakan tanda bakal berakhirnya bulan suci Ramadhan, telah
memberikan inspirasi kemenangan bagi warga Gorontalo. Pelaksanaan Tumbilotohe
menjelang magrib hingga pagi hari selama 3 malam terakhir sebelum menyambut
kemenangan di hari Raya Idul Fitri.
Di
tengah nuansa kemenangan, langit gelap karena bulan tidak menunjukkan sinarnya.
Warga kemudian meyakini bahwa saat seperti itu merupakan waktu yang tepat untuk
merefleksikan eksistensi diri sebagai manusia. Hal tersebut merupakan momentum
paling indah untuk menyadarkan diri sebagai fitrah ciptaan Allah SWT.
Menurut
sejarah kegiatan Tumbilotohe sudah berlangsung sejak abad XV sebagai penerangan
diperoleh dari damar, getah pohon yang mampu menyala dalam waktu lama. Damar
kemudian dibungkus dengan janur dan diletakkan di atas kayu. Seiring dengan
perkembangan zaman dan berkurangnya damar, penerangan dilakukan dengan minyak
kelapa (padamala) yang kemudian diganti dengan minyak tanah. Setelah
menggunakan damar, minyak kelapa, kemudian minyak tanah, Tumbilotohe mengalami
pergeseran.
Hampir
sebagian warga mengganti penerangan dengan lampu kelap-kelip dalam berbagai
warna. Akan tetapi, sebagian warga masih mempertahankan nilai tradisional,
yaitu memakai lampu botol yang dipajang di depan rumah pada sebuah kerangka
kayu atau bambu.
Saat
malam tiba, “ritual” Tumbilotohe dimulai. Kota tampak terang benderang. Nyaris
tidak ada sudut yang gelap. Keremangan malam yang diterangi cahaya lampu-lampu
bot Kota Gorontalo berubah semarak karena lampu-lampu botol tidak hanya
menerangi halaman rumah, tetapi juga menerangi halaman kantor, masjid. Tak terkecuali,
lahan kosong petak sawah hingga lapangan sepak bola dipenuhi dengan cahaya
lampu botol. Masyarakat seolah menyatu dalam perasaan religius dan solidaritas
yang sama. Di lahan-lahan kosong nan luas, lampu-lampu botol itu dibentuk
gambar masjid, kitab suci Al ol di depan rumah- rumah penduduk tampak mempesona
Tumbilotohe
menjadi semacam magnet bagi warga pendatang, terutama warga kota tetangga
Manado, Palu, dan Makassar. Banyak warga yang mengunjungi Gorontalo hanya untuk
melihat Tumbilotohe. Sepanjang perjalanan di daerah Gorontalo maka kita akan
menyaksikan Tumbilotohe dari berbagai ragam bentuk. “Sangat indah apabila kita
berjalan pada malam hari” itulah ungkapan pada kebanyakan orang yang memanjakan
ma Alikusu terdiri dari bambu kuning, dihiasi janur, pohon pisang, tebu &
lampu minyak yang diletakkan di pintu masuk rumah, kantor, mesjid dan pintu
gerbang perbatasan suatu daerah.
Pada
pintu gerbang terdapat bentuk kubah mesjid yang menjadi simbol utama alikusu.
Warga menghiasi Alikusu dengan dedaunan yang didominasi janur kuning. Di atas
kerangka itu digantung sejumlah buah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan
tebu lambang kemanisan, keramahan, dan kemuliaan hati menyambut Idul Fitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar